Miqat dalam ibadah haji termasuk permasalahan penting karena ini berhubungan dengan kesempurnaan ibaddah haji sebagai salah satu rukun Islam. Apalagi banyak kaum Muslimin yang tidak mengetahuinya dan terjerumus dalam kesalahan saat berihram. Bertambah penting lagi dengan adanya kemudahan transportasi seperti pesawat terbang dan sejenisnya sehingga melewati Miqat yang telah ditetapkan syariat dan berihrom dari tempat yang lainnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tempat tertentu untuk berihram bagi yang akan menunaikan ibadah haji atau umroh, yang dikenal dengan Miqat.
Pengertian Miqât.
Miqat dalam bahasa Arab memberikan pengertian waktu dan tempat yang ditetapkan untuk pelaksanaan sebuah perbuatan. seperti dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَاِذَا الرُّسُلُ اُقِّتَتْۗ ١
Dan apabila rasul-rasul telah ditetapkan waktu (mereka). (QS. Al-Mursalat 77:11).
Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan satu waktu untuk pelaksanaan perbuatan dalam keputusan hukum diantara umatnya. Demikian pula dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا
Sesungguhnya kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisâ` 4: 103).
Miqat menurut para ahli fikih adalah waktu atau tempat yang ditetapkan untuk pelaksanan ibadah. (lihat Hâsyiyah al-Jumal ‘ala Syarh Manhâj ath-Thulaab 2/395). Sedangkan al-Bahuty al-Hambali mendefinisikannya dengan tempat dan waktu tertentu untuk ibadah khusus. (Kasyâf al-Qanâ’ 2/399).
Dengan demikian Miqat digunakan untuk waktu yang ditetapkan syariat untuk sebuah ibadah seperti mawaqit shalat atau tempat seperti mawaqit Ihram. Sehingga Miqat dalam haji atau umroh adalah waktu atau tempat yang ditetapkan syariat untuk memulai ibadah haji atau umroh.
Apabila melintasi Miqat, seseorang yang ingin mengerjakan haji perlu mengenakan kain ihram dan memasang niat. Miqat digunakan dalam melaksanakan ibadah haji dan umrah.
Jenis Miqat.
Para ulama membagi Miqat dalam haji dan umroh menjadi dua jenis:
1. Miqat Zamani (ﻣﻴﻘﺎﺕ ﺯﻣﺎﻧﻲ)
adalah penentuan bulan-bulan haji sebagaimana dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala :
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah 2:197)
Allah subhanahu wa ta’ala tidak menetapkan bulan-bulan haji dalam Al-Qur`an dan begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena itu sudah dimaklumi bangsa Arab dahulu. (lihat Tafsir al-Qurthubi 2/405). Oleh karena itu para ulama bersepakat bahwa yang dimaksud dengan bulan haji itu ada tiga bulan, yang diawali dengan Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah. Batasan yang disepakati adalah dimulai dengan awal bulan Syawal hingga terbit fajar hari iduladha tanggal 10 Dzulhijjah. Kemudian mereka berbeda pendapat dari siang hari kurban (iduladha) hingga akhir Dzulhijjah apakah termasuk bulan-bulan haji atau tidak?
Sebab perbedaan pendapat ini kembali kepada perbedaan para ulama dalam menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah 2:197).
Sebab lafazh al-Asyhur (bulan) terkadang untuk seluruh harinya dan terkadang untuk sebagian harinya saja. (lihat Tafsir al-Qurthubi 2/405). Para ulama Malikiyah memandang pengertian pertama dan mayoritas ulama memandang pengertian kedua. Kemudian mayoritas ulama berbeda pendapat tentang masuknya siang hari iduladha dalam bulan-bulan haji atau tidak?
Dari sebab perbedaan ini maka pendapat ulama terbagi menjadi tiga pendapat:
A. Bulan-bulan haji itu adalah Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijah seluruhnya. Inilah pendapat Malikiyah dengan dasar keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala:
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah 2:197).
Lafaz bulan di dalam ayat ini mencakup seluruh hari-harinya, sebagaimana disepakati para ulama pada bulan Syawal dan Dzulqa’dah mencakup seluruh harinya. (lihat Bidayatul Mujtahid 1/238 dan al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah 2/142).
B. Bulan-bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari awal dengan malam harinya sehingga dimulai awal Syawal sampai terbenam matahari hari iduladha tanggal 10 Dzulhijjah. Inilah pendapat mazhab Hanafiyah dan Hanabilah berdasarkan dalil berikut:
a. Hadits Ibnu Umar, beliau berkata:
وَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ بَيْنَ الجَمَرَاتِ فِي الحَجَّةِ الَّتِي حَجَّ بِهَذَا، وَقَالَ: هَذَا يَوْمُ الحَجِّ الأَكْبَرِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hari kurban (10 Dzulhijjah) diantara jamarat pada haji yang beliau berhaji (haji wada’) dan berkata: ‘Inilah hari al-Hajj al-Akbar.’” (HR. Abu Dawud no. 1945 2/195 dan al-Bukhari secara muallaq, syaikh al-Albani menshahihkan hadits ini). Dalam hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut kata Haji pada siang hari an-Nahr (10 Dzulhijjah) sehingga menunjukkan siang hari tersebut masuk dalam bulan haji.
b. Pernyatan Ibnu Umar dan selainnya dari para sahabat:
أَشْهُرُ الحَجِّ: شَوَّالٌ، وَذُو القَعْدَةِ، وَعَشْرٌ مِنْ ذِي الحَجَّةِ
“Bulan-bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” (HR. al-Bukhari secara muallaq dalam kitab al-Hajj no. 1560).
c. Pada hari Nahr ada rukun haji yang harus dilaksankan yaitu thawaf ifadhah dan juga berisi banyak amalan-amalan haji juga, diantaranya melempar jumrah aqabah, mencukur rambut, berkurban dan thawaf dan sa’i serta kembali ke Mina. Hal ini menunjukkan maksud dari firman Allah subhanahu wa ta’ala:
اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah 2:197). adalah dua bulan dan sebagian dari bulan ketiga bukan seluruhnya. Setelah sepuluh pertama Dzulhijjah bukan lagi masuk bulan haji, karena itu bukan waktunya berihram.
C. Bulan-bulan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh malam hari awal sampai terbit fajar tanggal 10 Dzulhijjah. Inilah pendapat mazhab Syâfi’iyah berdasarkan dalil:
a. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّۗ
“Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. Al-Baqarah 2:197).
Akhir waktu niat haji adalah terbitnya fajar hari an-Nahr dan setelahnya tidak sah hajinya.
b. Pernyatan Ibnu Umar dan selainnya dari para sahabat:
أَشْهُرُ الحَجِّ: شَوَّالٌ، وَذُو القَعْدَةِ، وَعَشْرٌ مِنْ ذِي الحَجَّةِ
“Bulan-buan haji adalah Syawal, Dzulqa’dah dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” (HR. al-Bukhari secara muallaq dalam kitab al-Hajj no. 1560). Yang dimaksud di sini adalah sepuluh macam dari Dzulhijjah.
Inilah pendapat yang rojih, karena firman Allah: (ﱅاَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌۚ) Maknanya orang yang mengharuskan dirinya di bulan haji dengan memulai hajinya dan setelah terbit fajar hari an-Nahr tidak sah ihrom berhaji karena sudah kehilangan waktu wukuf di Arafah. Wallahu a’lam.
2. Miqât Makani (ﻣﻴﻘﺎﺕ ﻣﻛﺎﻧﻲ)
Yaitu Miqat berdasarkan peta atau batas tanah geografis, tempat seseorang harus mulai menggunakan pakaian ihram untuk melintas batas tanah suci dan berniat hendak melaksanakan ibadah haji atau umrah. Miqat Makani ini ada lima. Para ulama bersepakat pada empat dari lima Miqat, berdasarkan hadis Ibnu Abbas yang berbunyi:
أَنَّ النَّبِيَّ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ: ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَلِأَهْلِ الشَّامِ : الْجُحْفَةَ، وَلِأَهْلِ نَجْدٍ: قَرْنَ الْمَنَازِلِ، وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ: يَلَمْلَمَ، هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Miqat untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, penduduk Syam di al-Juhfah, penduduk Nejd di Qarnul Manazil dan penduduk Yaman di Yalamlam. Miqat-miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. Barangsiapa yang kondisinya setelah daerah miqat tersebut, maka miqatnya dari mana pun dia memulainya. Sehingga penduduk Makkah, miqatnya juga dari Makkah.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Keempat Miqat tersebut adalah:
1. Dzulhulaifah dikenal juga sekarang dengan Bier Ali yang terletak sekitar 12 km dari Madinah, merupakan miqat bagi orang yang datang dari arah Madinah. Miqat ini adalah miqat terjauh dari Makkah.
2. Al-Juhfah, suatu tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah, sekitar 187 km dari Makkah, sekarang dikenal dengan nama al-Maqabir dan merupakan Miqat bagi jama’ah yang datang dari Syam (Suriah), Mesir dan Maroko atau yang searah. Setelah al-Juhfah hancur akibat banjir dan tidak layak dihuni, Miqat ini diganti dengan miqat lainnya yakni Rabigh, yang berjarak 204 km dari Makkah. Terakhir pada tahun 1406 H dibangun Masjid Miqat al-Juhfah dan kelengkapannya.
3. Qarnul Manazil adalah sebuah bukit atau lembah di sebelah Timur Makkah berjarak sekitar 94 km dari kota Makkah. Sekarang dinamakan as-Sa`il al-Kabir. Miqat ini bersambung dengan Wadi Muhrim yang berada dibagian atas Wadi Qarnulmanazil yang menggunakan jalan Kara` mengarah ke kota Makkah. Ini Miqat untuk penduduk Najd dan sekitarnya serta orang yang melewatinya.
4. Yalamlam, sebuah bukit di Tuhamah berada disebelah selatan kota Makkah dan berjarak sekitar 54 km dari Makkah, merupakan miqat bagi jama’ah yang datang dari arah Yaman dan Asia yang melewati jalur Yaman. Sekarang dikenal dengan as-Sa’diyah.
Yang masih diperselisihkan adalah :
5. Dzatu Irqin, suatu tempat Miqat yang terletak di sebelah utara Mekah, berjarak 94 km dari Mekah, merupakan Miqat bagi jama’ah dari Iraq dan yang searah.
Para ulama berbeda pendapat tentang Miqat penduduk Iraq ini, mayoritas ulama diantaranya mazhab Hanafiyah (lihat al-Mabsuuth 4/166) dan Hanabilah (lihat al-Mughni 5/56) menetapkan Dzatu Irqin sebagai Miqat penduduk Iraq berdasarkan dalil:
a. Hadits Aisyah yang menunjukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menentukan Dzatu Irq sebagai Miqat penduduk Iraq. Beliau berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْعِرَاقِ ذَاتَ عِرْقٍ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Miqat penduduk Iraq adalah Dzatu Irq.” (HR. Abu Dawud no. 1739 dan dishahihkan al-Albani).
b. Riwayat dari Ibnu Umar bin al-Khathab, beliau berkata:
لَمَّا فُتِحَ هَذَانِ المِصْرَانِ أَتَوْا عُمَرَ، فَقَالُوا: يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّ لِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنًا، وَهُوَ جَوْرٌ عَنْ طَرِيقِنَا، وَإِنَّا إِنْ أَرَدْنَا قَرْنًا شَقَّ عَلَيْنَا، قَالَ: فَانْظُرُوا حَذْوَهَا مِنْ طَرِيقِكُمْ، فَحَدَّ لَهُمْ ذَاتَ عِرْقٍ
“Ketika dua kota ini ditakklukan, maka mereka mendatangi Umar, seraya berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan Miqat penduduk Najd adalah Qarn dan ia jauh dari jalan kami. Kami bila berangkat ke Qarn menyusahkan kami.’ Umar berkata: ‘Lihatlah yang sejajar dengannya dari jalan kalian! Lalu beliau menetapkan Dzatu Irq sebagai Miqâa mereka.’” (Riwayat al-Bukhari dalam shahihnya no. 1531).
Sedangkan sebagian besar ulama Syâfi’iyah (Lihat al-Majmu’ 7/195) dan mazhab Malikiyah (al-Kaafi karya Ibnu Abdilbarr 1/379) memandang lebih baik berihram dari al-‘Aqiiq sebagai bentuk kehati-hatian dan tidak salah, karena Dzatu Irqin adalah sebuah daerah yang terlantar dan bangunannya sudah dipindahkan ke arah Makkah. Juga berdalil dengan hadits lemah dari Ibnu Abbas, beliau berkata:
وقَّتَ رسولُ الله لأهلِ المَشْرِقِ العَقِيقَ
“Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Miqat untuk penduduk daerah timur (Iraq) adalah al-Aqiiq.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya no. 1740 dan di hukumi sebagai hadits lemah oleh Syeikh al-Albani dan Syu’aib al-Arnauth).
Dengan demikian jelaslah bahwa Dzatu Irqin adalah Miqat bagi penduduk Iraq dengan Nash dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Gambar Peta Miqaat.
Orang yang melewati Miqat.
Orang yang melewati salah satu Miqat atau yang sejajar dengannya baik melalui darat, laut atau pun udara ada tiga keadaan:
1. Orang tersebut ingin melakukan haji atau umroh. maka diwajibkan atasnya berihram dari Miqat yang dilewatinya atau sejajar dengannya. Apabila melewati Miqat tersebut tanpa berihram maka ia berdosa dan diwajibkan membayar dam (sembelihan) kecuali bila ia kembali ilahi ke Miqat dan berihram darinya. Hal ini bersadarkan hadits Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Miqat-Miqat tersebut sudah ditentukan bagi penduduk masing-masing kota tersebut dan juga bagi orang lain yang hendak melewati kota-kota tadi padahal dia bukan penduduknya namun ia ingin menunaikan ibadah haji atau umrah. (Muttafaqun ‘alaihi).
2. Orang tersebut tidak berniat dan berkeinginan untuk haji atau umroh dan bukan termasuk orang yang sering lalu lalang kekota Makkah, misalnya orang yang datang untuk mengunjungi saudaranya atau ada kebutuhan tertentu. Orang seperti ini tidak diwajibkan berihram dari Miqat, berdasarkan pengertian yang diambil dari hadits Ibnu Abbas di atas menunjukkan orang yang tidak berkeinginan untuk haji atau umroh tidak diwajibakn berihram darinya. Akan tetapi lebih utama baginya untuk berihram tatawwu’ selama Allah subhanahu wa ta’ala telah memudahkannya melewati Miqat dalam keadaan aman dan sehat agar mendapatkan pahala haji atau umroh.
3. Orang yang memiliki hajat untuk bolak balik dan lalu lalang seperti sopir bus atau sejenisnya, maka mereka tidak diharuskan berihram karena akan sangat menyusahkannya.
Demikianlah sebagian hukum berkenaan dengan Miqat dalam ibadah haji dan umroh. Semoga bermanfaat.
[wbcr_php_snippet id=”36707″]
Visited 1 times, 1 visit(s) today
Post Views: 1
Game Center
Game News
Review Film
Rumus Matematika
Anime Batch
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
Berita Terkini
review anime