Seni Menangani Perselisihan Suami-Istri – KonsultasiSyariah.com


Seni mengelola konflik antar pasangan

Oleh:

Prof Abdullah bin Abdul Aziz Al-Khalidi

A. Abdullah bin Abdulaziz Al-Khalidi

Pasangan berbagi semua detail kehidupan mereka, dan wajar jika perselisihan terjadi karena berbagai alasan, dan tidak adanya perselisihan bukanlah bukti sehatnya hubungan perkawinan, karena beberapa orang mencari hubungan yang ideal, tanpa cacat, namun pada kenyataannya, perselisihan adalah hal yang wajar, dan tidak ada rumah tangga yang bebas dari masalah. Adapun kesucian jiwa yang mutlak dapat diperoleh di surga. Allah SWT berfirman: “Dan Kami telah menghilangkan dari dada mereka apa yang ada di dalam hati mereka.” Kami adalah saudara di tempat tidur yang saling berhadapan. [الحجر: 47]. Permasalahannya bukan pada masalah yang terjadi; Namun membiarkannya tidak terselesaikan.

Suami dan istri selalu bersama dalam setiap sendi kehidupan mereka, sehingga sudah menjadi hal yang lumrah jika terjadi perselisihan di antara mereka karena berbagai sebab. Tidak terjadinya perselisihan bukan menjadi tanda sehatnya hubungan rumah tangga, ketika sebagian orang berusaha untuk memiliki hubungan yang ideal dan tanpa kekurangan.

Namun, pada hakikatnya, perselisihan merupakan perkara yang wajar dan tidak ada rumah tangga yang terbebas dari masalah. Adapun kejernihan jiwa tanpa masalah secara mutlak hanya dapat diraih kelak di surga. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

Dan Kami hilangkan kebencian dari dada mereka sebagai saudara di ranjang yang saling berhadapan.

“Kami hilangkan segala dendam dalam hati mereka. Mereka bersaudara dan duduk di hadapan mereka.” (QS. Al-Hijr : 47).

Masalah bukanlah ketika masalah itu terjadi, tapi ketika ia dibiarkan tanpa solusi.

Ketika konflik dimulai dalam kehidupan perkawinan, permasalahannya mencapai keadaan ketegangan yang menyerupai perang, dan penyerangan dengan hinaan dan kekerasan dapat terjadi. Jika kehidupan perkawinan terus berlanjut, kelanjutannya akan menyedihkan, dan akibatnya terbentuklah dua perilaku: yang satu menyerang, yang lain defensif. Ini adalah respons psikologis dalam banyak situasi konflik.

Ketika mulai muncul perselisihan dalam kehidupan berumah tangga, keadaan akan menjadi tegang seperti peperangan, dan terkadang sampai terjadi tindakan berlebihan seperti makian dan kekerasan. Meskipun kehidupan rumah tangga masih mungkin berlanjut, tetapi sejak itu akan berlanjut dengan suasana yang keruh, sehingga akan terbentuk darinya dua sikap, ofensif dan defensif. Ini merupakan reaksi jiwa yang sering kali timbul ketika terjadi perselisihan.

Permulaan suatu permasalahan adalah perselisihan pendapat, yang kemudian menimbulkan kontroversi, kemudian perselisihan, kemudian keras kepala, dan akhirnya dimulailah konflik, yang merupakan awal dari ketegangan yang berujung pada kerugian dan pengucilan pihak lain. Perbedaan pendapat adalah sebuah krisis, perdebatan adalah negosiasi, dan perselisihan diselesaikan tanpa memikirkan benar atau salah.

Awal mula permasalahan adalah adanya perbedaan paham, kemudian berlanjut pada perdebatan, lalu persengketaan dan saling membela diri, dan berujung perselisihan. Inilah awal dari ketegangan hubungan dan dapat berlanjut ke tahap saling menyakiti dan menghindari pihak lain. Perbedaan paham adalah krisis, perdebatan adalah perundingan, sedangkan persengketaan adalah pelarian tanpa memikirkan apakah dalam posisi benar atau salah.

Ada dua hal yang harus dipahami dalam mengelola konflik ini. Poin pertama: Fokus pada solusinya, bukan masalahnya. Pikiran tidak dapat menemukan solusi jika fokusnya tertuju pada masalah, dan karena fokus negatif mengaktifkan perasaan negatif, yang pada gilirannya menghalangi visi solusi. Hal ini tidak berarti mengabaikan masalah itu sendiri. Untuk memperjelas makna ini, saya tunjukkan apa yang terjadi pada salah satu pabrik besar di Jepang, di mana mereka menemukan sejumlah kontainer… Kosong, dan untuk mengatasi masalah ini mereka mulai membuat perangkat x-ray untuk mendeteksi kaleng kosong, dan mereka mengalokasikan seorang pekerja untuk mengeluarkan kaleng, yang meningkatkan biaya keuangan, sementara masalah terjadi di pabrik kecil lainnya, pabrik memikirkan solusinya, bukan masalahnya; Jadi mereka memutuskan untuk memasang kipas angin kecil, dan wadah kosong itu terbang dengan cepat, dan solusinya tidak mengeluarkan biaya apa pun; Karena pemikirannya terfokus pada solusi, bukan pada masalah. Saat kita fokus pada solusi, kita kreatif dan ringkas, dan saat kita fokus pada masalah, kita menciptakan masalah lain.

Ada dua poin yang harus dipahami dalam mengelola perselisihan, yaitu:

Poin pertama: Fokus pada solusi, bukan pada masalah. Akal tidak mungkin dapat menghadirkan solusi jika yang menjadi tonggak fokusnya adalah masalah. Selain itu, karena fokus terhadap hal negatif akan membangkitkan perasaan negatif, yang pada akhirnya dapat menghalangi akal untuk melihat solusi. Namun, hal ini tidak berarti kita harus berpura-pura bodoh terhadap masalah itu sendiri.

Untuk memperjelas poin ini, saya beri contoh dengan apa yang terjadi di salah satu pabrik besar di Jepang, mereka mendapati bahwa banyak kaleng (sebagai wadah dari hasil produksi mereka) yang tidak terisi. Untuk memecahkan masalah ini, mereka mulai membuat alat yang memancarkan sinar untuk mengungkap kaleng-kaleng mana yang kosong. Namun, mereka harus menugaskan pekerja khusus untuk menyingkirkan kaleng-kaleng itu, sehingga anggaran pengeluaran semakin bertambah.

Sedangkan di pabrik kecil di tempat lain, terjadi masalah yang sama, tapi pabrik ini memfokuskan pikiran mereka pada solusi, bukan pada masalah yang terjadi, sehingga mereka punya ide untuk memasang kipas angin kecil, sehingga kaleng-kaleng yang kosong akan jatuh dengan sendirinya.

Solusi ini tidak membebani pengeluaran mereka sedikit pun, karena pikiran mereka lebih tertuju pada solusi, bukan pada masalah. Ketika kita fokus terhadap solusi, kita akan bersikap lebih kreatif dan efektif, tapi ketika kita lebih fokus terhadap masalah, kita akan menciptakan masalah-masalah yang lain.

Poin kedua: Kita harus fokus pada perilaku yang salah karena itulah masalahnya, dan bukan fokus pada diri sendiri yang menyebabkan masalah. Jika kita fokus pada kritik diri, kita akan kehilangan kepercayaan pada kemampuan lawan bicara, dan dia akan putus asa dalam menemukan solusi yang tepat untuk masalah tersebut, dan akhirnya mengharapkan kegagalan. Karena ia mungkin percaya bahwa apa yang ia sampaikan tidak ada gunanya, dan ia tidak mampu memberikan yang terbaik, maka ia tidak menjadikan kemampuannya sebagai penilaian yang adil, melainkan pada apa yang menyusup ke dalam dirinya dari penilaian orang lain.

Poin kedua: Kita harus fokus pada sikap yang salah sebagai sumber masalah, tidak mengarahkan fokus kita pada personal yang menimbulkan masalah. Apabila kita fokus mengkritik pribadi seseorang, kita akan kehilangan kepercayaan diri orang tersebut, membuatnya merasa putus asa dalam mencari solusi yang tepat atas masalah yang terjadi, dan akhirnya ia sudah menebak dari awal akan gagal, karena bisa jadi ia menjadi yakin apa yang ia kerjakan tidak bermanfaat dan tidak mampu melakukan yang lebih baik. Ia tidak menilai kemampuannya dengan penilaian yang objektif, tapi dengan keyakinan yang menyusup ke dalam dirinya yang berasal dari penilaian orang lain.

Di sisi lain, kritik terhadap perilaku merupakan bidang yang luas untuk mereformasi dan memodifikasi perilaku, sehingga menjadi skala yang dengannya kita menimbang tindakan kita, mengubah dan memperbaiki perilaku kita, serta mencapai solusi dengan cepat. Sedangkan kritik terhadap diri sendiri menghambat proses, menghambat penyelesaian, dan berujung pada kegagalan.

Adapun di sisi lain, kritik terhadap sikap merupakan ruang yang lapang untuk melakukan perbaikan pribadi seseorang, karena terdapat standar yang jelas untuk menimbang tindak-tanduk kita, meluruskan sikap-sikap kita, dan mencapai solusi lebih cepat. Sedangkan kritik terhadap pribadi akan menghambat langkah, mengubur solusi, dan menggiring kepada kegagalan.

Al-Qur’an mengarahkan kita pada pentingnya mengkritik perilaku, bukan diri sendiri. Lot, saw, berbicara kepada kaumnya dan berkata kepada mereka: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berbicara.” [الشعراء: 168]Posisinya adalah mengingkari perilaku rakyatnya, tapi dia tidak mengingkari mereka. Dia tidak membenci mereka. Sebaliknya, saya benci apa yang mereka lakukan, karena siapa pun yang ingin menyelesaikan masalah, fokus utamanya adalah pada solusi, dan menolak perilaku salah, dan inilah yang dilakukan Lot, saw.

Al-Qur’an telah memberi petunjuk kepada kita tentang pentingnya kritik, bukan kritik yang bersifat pribadi, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an yang disabdakan Nabi Luth alaihissalam kepada kaumnya dengan syahadat:

Sesungguhnya aku termasuk orang yang berbicara kepadamu

“Sesungguhnya aku termasuk orang yang membenci perbuatanmu.” (QS. Asy-Syu’ara : 168). Nabi Luth memposisikan dirinya sebagai orang yang meninggalkan sikap kaumnya, bukan kepada kaumnya sendiri, bukan membenci mereka, melainkan membenci perbuatan mereka. Oleh karena itu, siapapun yang ingin menyelesaikan permasalahan hendaknya lebih fokus pada penyelesaiannya dan menyikapi sikap yang salah tersebut, dan hal inilah yang dilakukan oleh Luth ‘alaihissalam.

Dalam arahan Al-Qur’an lainnya, khususnya pada konflik antara dua anak Adam, Habel ingin membunuh saudaranya! (Fokus pada diri sendiri) Bahwa dirinyalah masalahnya, maka untuk mengatasi konflik tersebut, dan untuk menyelesaikan masalah tersebut, Kain mulai berunding dengan saudaranya – dan negosiasi adalah salah satu strategi yang paling penting untuk menyelesaikan konflik – maka ia menasehati saudaranya untuk mempersembahkan sedekah (sedekah) kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka siapa pun yang amalnya diterima, maka ucapannya akan diperhitungkan. Yang Maha Kuasa berfirman: “Dan bacakan kepada mereka laporan anak Adam dengan benar ketika Mereka membawa sesaji, dan itu diterima dari salah satu dari mereka, tetapi tidak diterima dari yang lain. [المائدة: 27]Ketika tidak diterima darinya, dia membunuhnya, “dan jiwanya rela memutuskan untuk membunuh saudaranya, maka dia membunuhnya.” [المائدة: 30]Meski konflik berakhir dengan kematian, namun ada solusi yang ditawarkan, dan niat indah pun dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut. “Seandainya engkau mengulurkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, niscaya aku tidak akan mengulurkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku bertakwa kepada Allah, wahai Tuhanku.” Dua dunia ﴾ [المائدة: 28].

Begitu juga dalam arahan Al-Qur’an lainnya, lebih tepatnya pada perselisihan dua anak Nabi Adam. Habil ingin membunuh saudaranya (ia fokus pada personal), dan menganggap saudaranya sebagai masalah.

Namun, untuk mengelola perselisihan dan mencari solusi masalah, Qabil ingin memulai perundingan dengan Habil – dan berunding merupakan salah satu strategi terpenting dalam menyelesaikan perselisihan –, sehingga Qabil mengusulkan kepada saudaranya untuk mempersembahkan kurban untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala, siapa di antara mereka berdua yang kurbannya diterima maka pendapatnya yang akan dijalankan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

Dan ceritakan kepada mereka kisah kedua anak Adam yang sebenarnya, ketika mereka mempersembahkan kurban, dan diterima dari salah satu dari mereka, namun tidak diterima dari yang lain.

“Bacakan kepada mereka (Nabi Muhammad) berita tentang kedua anak Adam. Ketika keduanya berkurban, maka diterima dari yang satu dan tidak diterima dari yang lain.” (QS. Al-Maidah : 27).

Namun, ketika kurban salah satunya tidak diterima, ia justru membunuh saudaranya. “Kemudian, hawa nafsunya mendorong dia untuk membunuh saudaranya. Maka, dia pun (benar-benar) membunuhnya.” (QS. Al-Maidah: 30).

Meskipun perselisihan ini berakhir dengan pembunuhan, hanya saja ada solusi-solusi yang diajukan sebelumnya dan niat-niat baik yang dikerahkan demi menyelesaikan perselisihan.

“Sesungguhnya jika kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku bertakwa kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Maidah : 28).

Ini adalah gambaran lain dari salah satu konflik yang disebutkan dalam Al-Qur’an yang terlihat dalam kisah Yusuf as. Saudara-saudara Yusuf menjatuhkan hukuman mati kepada saudara laki-laki mereka. Karena fokusnya pada diri sendiri, dan hukumannya dikurangi dari pembunuhan menjadi solusi alternatif, “Atau lemparkan dia ke negeri yang di dalamnya wajah ayahmu akan berbakti kepadamu, dan kamu akan menjadi orang-orang yang bertakwa setelah dia.” [يوسف: 9] Meski metodenya berubah, fokusnya tetap pada diri sendiri. Mereka tidak memikirkan solusinya. Sebaliknya, sebagian besar fokus mereka adalah pada diri sendiri dan menyingkirkannya. Mereka tidak berhasil memecahkan masalah tersebut, dan mereka menciptakan banyak masalah lain yang tidak mereka perlukan.

Berikut ini juga contoh lain dari salah satu perselisihan yang disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu dalam kisah Nabi Yusuf ‘Alaihissalam. Saudara-saudara Yusuf telah menetapkan untuk membunuh Yusuf, karena yang menjadi fokus mereka adalah personal. Kemudian keputusan ini menjadi lebih ringan dari pembunuhan ke keputusan lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengisahkan:

Atau lemparkan dia ke negeri yang keistimewaan ayahmu akan terpelihara bagimu, dan kamu akan menjadi orang-orang yang jujur ​​setelah dia.

“Atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian Ayah tertumpah kepadamu dan setelah itu (bertobatlah sehingga) kamu akan menjadi kaum yang saleh.” (QS. Yusuf: 9).

Meskipun cara eksekusi keputusan ini akhirnya berubah, tapi fokus mereka masih tertuju pada pribadi Nabi Yusuf. Mereka tidak memikirkan solusi masalah, tapi justru mereka hanya terfokus pada personal dan terbebas dari orangnya, sehingga mereka tidak berhasil mendapatkan solusi dari masalah mereka, bahkan mereka justru menimbulkan banyak masalah lain yang seharusnya bisa mereka hindari.

Untuk mengelola konflik, kita harus fokus pada solusinya, bukan pada masalahnya, dan fokus kita harus pada perilaku yang keluar, bukan pada diri sendiri. Dengan cara ini, kita dapat mengelola konflik dalam hidup kita dengan baik.

Oleh sebab itu, untuk mengelola perselisihan hendaklah kita berfokus pada solusi, bukan pada masalah. Fokus kita harus tertuju pada sikap yang timbul, bukan pada personal. Dengan demikian, kita akan mampu mengelola perselisihan yang ada dalam hidup kita dengan cara yang benar.

Sumber:

Sumber artikel GDF

🔍 Ziarah Kubur Wanita, Suami Minum, Potong Bulu Mata, Amalan Pagar Badan dari Serangan Gaib, Asal Usul Syekh Siti Jenar

Dikunjungi 81 kali, 1 kunjungan hari ini


Tampilan Postingan: 49

QRIS Donasi Yufid


News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door