Nabi dan Para Sahabatnya Kaya Raya, tapi Kenapa Mereka Sering Kelaparan dan Kesulitan? – KonsultasiSyariah.com


Pertanyaan:

Ketika Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam mengikatkan batu ke perutnya dan mengatakan kepada para sahabatnya bahwa beliau sama sekali belum melihat roti putih. Lantas mengapa para sahabat tidak meminta kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam agar mereka bisa memberi beliau makanan atau uang? Mengapa juga Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam miskin dan Allah Subẖānahu wa Taʿālā tidak memberinya uang atau makanan? Jika saya ada di zaman itu, niscaya saya akan menghabiskan semua harta saya untuk Nabi agar beliau Shallallahu Alaihi Wa Sallam kaya raya. Namun, mengapa para sahabat tidak melakukan hal itu agar Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam tidak perlu mengikat batu tersebut?

Jawabannya:

Kesimpulannya, bahwa sebagian besar hadis yang mengisahkan kesulitan yang dialami Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berupa kesulitan hidup di beberapa kesempatan adalah dengan kerelaan hati Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam (bukan karena terhimpit keadaan, pent.) dan karena beliau sendiri yang lebih memilih hidup demikian. 

Selain itu, juga ada hadis-hadis yang menceritakan bahwa para sahabat yang mulia —Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala Meridai mereka— mengulurkan tangan mereka kepada beliau untuk meringankan beliau di saat-saat sulit tersebut. Keadaan hidup beliau yang tidak menentu ini adalah gambaran kesempurnaan dan kemuliaan diri, dan tidak menjadi aib dari sisi manapun. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sendiri yang lebih menyukai dan memilih hidup seperti ini, padahal Tuhannya telah Memberinya pilihan, tetapi dia rida dengan pilihannya ini. Dia senantiasa bersama-Nya dan para sahabatnya dalam masa-masa sulit tersebut. 

Lantas, mengapa Anda mempermasalahkan sesuatu yang Anda sendiri tidak ikut serta dalam peristiwa tersebut? Pun Anda tidak tahu apa yang Tuhan semesta alam Takdirkan untuk Anda jika Anda ada dalam peristiwa itu. Ataukah Anda ingin mencela kaum Muhajirin dan Ansar untuk memuji diri Anda sendiri?! Mungkinkah mereka tidak memiliki kemuliaan dan ketulusan sedangkan Anda yang memilikinya? Takutlah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala kemudian takutlah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap diri, agama, dan hati Anda, wahai hamba Allah! Takutlah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala kemudian takutlah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap  kedudukan para sahabat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, tentang keterdepanan mereka dalam Islam, pengorbanan mereka, dan kekayaan mereka!!

قال جُبَيْرِ بْن نُفَيْرٍ رحمه الله : ( جَلَسْنَا إِلَى الْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدِ يَوْمًا، فَمَرَّ بِهِ رَجُلٌ، فَقَالَ: طُوبَى لِهَاتَيْنِ الْعَيْنَيْنِ اللَّتَيْنِ رَأَتَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَاللهِ لَوَدِدْنَا أَنَّا رَأَيْنَا مَا رَأَيْتَ، وَشَهِدْنَا مَا شَهِدْتَ، فَاسْتُغْضِبَ، فَجَعَلْتُ أَعْجَبُ، مَا قَالَ إِلَّا خَيْرًا، ثُمَّ أَقْبَلَ إِلَيْهِ، فَقَالَ: ” مَا يَحْمِلُ الرَّجُلُ عَلَى أَنْ يَتَمَنَّى مَحْضَرًا غَيَّبَهُ اللهُ عَنْهُ، لَا يَدْرِي لَوْ شَهِدَهُ كَيْفَ كَانَ يَكُونُ فِيهِ، وَاللهِ لَقَدْ حَضَرَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْوَامٌ كَبَّهُمُ اللهُ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ فِي جَهَنَّمَ لَمْ يُجِيبُوهُ، وَلَمْ يُصَدِّقُوهُ، أَوَلَا تَحْمَدُونَ اللهَ إِذْ أَخْرَجَكُمْ لَا تَعْرِفُونَ إِلَّا رَبَّكُمْ، مُصَدِّقِينَ لِمَا جَاءَ بِهِ نَبِيُّكُمْ، قَدْ كُفِيتُمُ الْبَلَاءَ بِغَيْرِكُمْ ؟! وَاللهِ لَقَدْ بَعَثَ اللهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَشَدِّ حَالٍ بُعِثَ عَلَيْهَا فِيهِ نَبِيٌّ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ فِي فَتْرَةٍ وَجَاهِلِيَّةٍ، مَا يَرَوْنَ أَنَّ دِينًا أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ، فَجَاءَ بِفُرْقَانٍ فَرَقَ بِهِ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ، وَفَرَّقَ بَيْنَ الْوَالِدِ وَوَلَدِهِ حَتَّى إِنْ كَانَ الرَّجُلُ لَيَرَى وَالِدَهُ وَوَلَدَهُ أَوْ أَخَاهُ كَافِرًا، وَقَدْ فَتَحَ اللهُ قُفْلَ قَلْبِهِ لِلْإِيمَانِ، يَعْلَمُ أَنَّهُ إِنْ هَلَكَ دَخَلَ النَّارَ، فَلَا تَقَرُّ عَيْنُهُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّ حَبِيبَهُ فِي النَّارِ “، وَأَنَّهَا لَلَّتِي قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: {الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ} [الفرقان: 74] ) . رواه أحمد في مسنده (23810) ط الرسالة ، وصححه الألباني . والله أعلم.

Jubair bin Nufair —semoga Allah Meridainya— mengatakan, “Suatu hari, kami sedang duduk dengan Al-Miqdad bin Al-Aswad, ketika tiba-tiba ada seorang pria lewat dan berkata, ‘Beruntunglah dua mata yang telah melihat Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam! Demi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kami berharap kami bisa melihat apa yang telah Anda lihat dan ikut serta mengalami apa yang telah Anda alami.’ Ternyata dia malah marah dan aku sendiri heran dengannya, karena apa yang dia katakan ‘kan baik. Lalu dia menghadap kepadanya dan berkata, ‘Apa yang membuat seseorang ingin ikut serta dalam suatu peristiwa yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala Takdirkan dia untuk tidak ikut serta di dalamnya? Sungguh, dia tidak tahu akan seperti apa keadaannya jika dia ikut serta di dalamnya.

Demi Allah, ada orang-orang yang hadir di sisi Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam akan tetapi Allah Subhanahu Wa Ta’ala Lemparkan mereka hingga terjungkal ke jahanam dengan hidung-hidung mereka karena mereka tidak memenuhi seruan Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Kenapa kalian tidak memuji Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja karena Dia telah Mengeluarkan Anda tanpa mengetahui apa pun selain Tuhan kalian dalam keadaan membenarkan agama yang dibawa Nabi kalian.

Sungguh, kalian telah dicukupkan dari ujian berat yang ditimpakan kepada orang selain kalian!? Demi Allah, Dia telah Mengutus Nabi-Nya Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam keadaan yang paling sulit. Seorang Nabi diutus di masa sulit seperti itu dan di zaman jahiliah yang tidak mengetahui bahwa agama Islam lebih baik daripada penyembahan terhadap berhala. Lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam datang dengan membawa pembeda yang membedakan antara kebenaran dari kebatilan dan memisahkan antara orang tua dan anak, sampai-sampai seseorang bisa memvonis kafir ayahnya atau putranya atau saudaranya karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah Membuka hatinya yang terkunci untuk beriman.

Kemudian dia menyadari betul bahwa jika kerabatnya itu mati, maka dia akan masuk neraka sehingga dia tidak akan merasa tenang karena mengetahui bahwa orang yang dicintainya berada di neraka dan bahwa itulah keadaan orang-orang yang Allah Subẖānahu wa Taʿālā Firmankan (yang artinya), “Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, Anugerahkanlah kepada kami penyejuk pandangan mata dari pasangan dan keturunan kami.’” (QS. Al-Furqan: 74).’” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 23810), cetakan Ar-Risālah, dan disahihkan oleh Al-Albani.) Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang lebih Mengetahui. 

Jawabannya:

Alhamdulillah. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengikatkan batu ke perutnya semata-mata karena kezuhudan, kesabaran, dan keteguhan beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sebagai bentuk solidaritasnya terhadap semua orang. Namun beliau juga pernah menjalani masa-masa kecukupan harta hingga bisa menyimpan makanan di rumahnya yang mencukupi keluarganya selama satu tahun penuh dan bisa memberi dan bersedekah kepada para sahabatnya dan selain mereka. Allah Subhanahu Wa Ta’ala Lapangkan rezeki Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sedemikian rupa agar beliau bisa melakukan sedekah, wakaf, dan mencukupi kebutuhan negara dan umat Islam. Hanya saja Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam ingin mengajarkan kepada umatnya dan seluruh alam bahwa harta itu adalah milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang tidak layak tersimpan dalam hati seorang hamba ataupun menjadi puncak harapan dan tujuan utamanya.

Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sering bersedekah untuk kebajikan setiap kali beliau mendapatkan harta yang melimpah. Setelah kekayaan itu habis (disedekahkan, pent.) dan tidak punya apa pun, Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam akan bersabar dengan kesulitan hidupnya dan tabah dengan mengikatkan batu ke perutnya serta mencukupkan diri dengan apa yang ada walau hanya kurma dan air dalam rangka memberi teladan yang adiluhung tentang gaya hidup yang mudah dan sederhana yang jauh dari kekhawatiran terhadap rezeki dan beban kebutuhan hidup. 

Barang siapa hidup dengan hati seperti ini dan sikap seperti itu, niscaya dia akan hidup dengan bahagia dan mati dengan bahagia. Dia akan rida dengan rezeki yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikan setelah dia menempuh sebab-sebab untuk menjemput rezeki tersebut tanpa menyepelekannya. Jadi, teladannya dalam hal ini adalah Nabi kita Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.

وقد صح في الحديث عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: ” جَلَسَ جِبْرِيلُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَظَرَ إِلَى السَّمَاءِ، فَإِذَا مَلَكٌ يَنْزِلُ، فَقَالَ جِبْرِيلُ: إِنَّ هَذَا الْمَلَكَ مَا نَزَلَ مُنْذُ يَوْمِ خُلِقَ، قَبْلَ السَّاعَةِ، فَلَمَّا نَزَلَ قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَرْسَلَنِي إِلَيْكَ رَبُّكَ ، أَفَمَلِكًا نَبِيًّا يَجْعَلُكَ، أَوْ عَبْدًا رَسُولًا؟ قَالَ جِبْرِيلُ: تَوَاضَعْ لِرَبِّكَ يَا مُحَمَّدُ. قَالَ: ” بَلْ عَبْدًا رَسُولًا ” .

رواه أحمد في مسنده (7160) ، وقال محققوه : إسناده صحيح على شرط الشيخين .

وفي حديث أبي أمامة عن النبي صلى الله عليه وسلم قوله: (عَرَضَ عَلَيَّ رَبِّي لِيَجْعَلَ لِي بَطْحَاءَ مَكَّةَ ذَهَبًا، قُلْتُ: لاَ يَا رَبِّ، وَلَكِنْ أَشْبَعُ يَوْمًا وَأَجُوعُ يَوْمًا، أَوْ قَالَ ثَلاَثًا أَوْ نَحْوَ هَذَا، فَإِذَا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إِلَيْكَ وَذَكَرْتُكَ، وَإِذَا شَبِعْتُ شَكَرْتُكَ وَحَمِدْتُكَ) رواه الترمذي في “السنن” (2347) وقال: حديث حسن. ثم عقبه بتضعيف أحد رواته.

Diriwayatkan dalam sebuah hadis sahih dari Abu Hurairah —semoga Allah Meridainya— bahwasanya dia berkata, “Jibril ʿAlaihis Salām duduk bersama Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lalu melihat ke arah langit. Ternyata ada seorang malaikat turun. Jibril ʿAlaihis Salām berkata, ’Malaikat ini tidak pernah turun sejak dia diciptakan hingga saat ini.’ Ketika turun, dia berkata, ’Wahai Muhammad, Tuhanmu telah mengutusku kepadamu, apakah engkau ingin Dia Menjadikanmu nabi berpangkat raja atau rasul bergelar hamba sahaya?” Jibril ʿAlaihis Salām berkata, ‘Merendahlah kepada Tuhanmu, wahai Muhammad.’ Lantas Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata, ‘Menjadi rasul dan hamba sahaya saja.’” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya (7160). 

Para Muẖaqqiq menyatakan bahwa sanadnya sahih menurut syarat Bukhari dan Muslim). Dalam hadis Umamah —Semoga Allah Meridainya—, diriwayatkan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Tuhanku Menawarkanku untuk mengubah tanah Makkah menjadi emas untukku,” tetapi aku menjawab, “Tidak, wahai Tuhanku, Jadikan saja aku sehari kenyang dan sehari lapar —atau mengatakan, “tiga hari,” atau sekitar itu—, karena dengan demikian, ketika aku lapar aku akan merendah berdoa kepada-Mu dan ingat dengan-Mu, dan ketika aku kenyang aku akan bersyukur kepada-Mu dan memuji-Mu.” (HR. Tirmizi dalam Sunan-nya (2347), dia berkata, “Hadis hasan,” kemudian menjelaskan bahwa ada salah satu perawinya yang lemah).

Di samping itu, ada beberapa riwayat yang menjelaskan alasan mengapa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak menentu keadaannya, terkadang miskin dan terkadang kaya. Alasan ketidaktentuan ini adalah karena banyaknya orang yang mengerumuni beliau, para tamu, dan orang-orang yang menuntut beliau demikian. Sehingga Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak sekalipun makan sesuatu kecuali di sekitar beliau ada sahabat-sahabatnya dan orang yang membutuhkan. Mereka kenyang bersama-sama di masjid.

Kemudian ketika Allah Subẖānahu wa Taʿālā Menaklukkan Khaibar untuk mereka, kaum muslimin menjadi agak lapang kehidupannya, walaupun tetap ada kesulitan dan penghidupan tetap susah, karena di sana adalah negeri yang tidak subur untuk pertanian. Makanan penduduknya hanyalah kurma dan dengan itulah mereka hidup. Lihat: Subul Al-Hudā war Rasyād fī Sīrati Khair Al-ʿIbād (7/101). 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa orang-orang terbagi dalam tiga kategori: (1) orang kaya, yaitu orang yang memiliki lebih dari apa yang mereka butuhkan, (2) orang miskin, yaitu orang yang tidak mampu mencukupi kebutuhannya, dan (3) adalah orang yang memiliki sesuai dengan kebutuhannya.

Oleh karena itulah di antara tokoh-tokoh besar dari kalangan nabi, rasul, dan orang-orang yang terdahulu memeluk Islam ada yang kaya, seperti Ibrahim Al-Khalīl, Ayyub, Dawud, Sulaiman, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin ‘Auf, Thalhah, Az-Zubair, Sa’ad bin Mu’adz, Usaid bin Al-H̱uḏair, As’ad bin Zurārah, Abu Ayyub Al-Ansari, ‘Ubadah bin Aṣ-Ṣhāmit, dan lain-lain, yang termasuk dalam golongan orang-orang terbaik dari kalangan nabi dan para ṣiddīqīn.

Di sisi lain, di antara mereka ada yang miskin, seperti Isa putra Maryam, Yahya bin Zakariya, Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar Al-Ghifari, Muṣʿab bin ‘Umair, Salman Al-Farisi dan lain-lain, yang juga termasuk dalam golongan orang-orang terbaik dari kalangan nabi dan para ṣiddīqīn. Di antara mereka ada yang merasakan dua keadaan tersebut, terkadang kaya dan terkadang miskin. Sehingga ketika kaya bisa berderma dan ketika miskin bisa sabar. Misalnya adalah Nabi kita Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, Abu Bakar, dan Umar. Selesai kutipan dari Majmū’ Al-Fatāwā (11/124).

قَامَ وَبَطْنُهُ مَعْصُوبٌ بِحَجَرٍ، وَلَبِثْنَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ لاَ نَذُوقُ ذَوَاقًا) رواه البخاري (4101)، وحديث عدم إيقاد النار في بيته المكرم عليه الصلاة والسلام الشهر والشهرين، وحديث (أَخْرَجَنِي الَّذِي أَخْرَجَكُمَا [يعني الجوع]) رواه مسلم (2038)، وحديث (وَلَمْ يَشْبَعْ مِنْ خُبْزِ الشَّعِيرِ) رواه البخاري (5414)

Dengan demikian Anda akan dapat memahami apa yang diriwayatkan dalam beberapa hadis sahih, seperti hadis yang mengatakan, “Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdiri sedangkan ada batu yang terikat di perutnya, sedangkan kami sudah tiga hari tidak mencicipi makanan apa pun.” (HR. Bukhari (4101)). 

Ada juga hadis yang menyatakan bahwa tidak ada perapian (untuk masak) yang dinyalakan di rumah Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang suci selama satu atau dua bulan. Ada juga hadis di mana Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Aku keluar karena sesuatu yang membuat kalian berdua keluar, (yakni rasa lapar).” (HR. Muslim (2038). 

Dalam hadis lain disebutkan bahwa Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah makan roti gandum sampai kenyang. (HR. Bukhari (5414)). 

Semua riwayat tersebut kita pahami sesuai konteks kejadiannya yang terjadi dalam sesekali waktu dalam kehidupan Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, tidak seperti itu terus dan tidak menjadi keadaan yang selalu melekat pada diri beliau. Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam senantiasa berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari kemiskinan sembari berdoa kepada-Nya dan mengucapkan, “Ya Allah, Berilah rezeki kepada keluarga Muhammad secukupnya.” (HR. Bukhari (6460)). 

Tuhannya Subẖānahu wa Taʿālā tidak pernah meninggalkannya dalam keadaan miskin, bahkan Membukakan baginya perbendaharaan harta, hanya saja beliau itu adalah orang yang lebih dermawan daripada angin yang berhembus. Bahkan terkadang beliau menyedekahkan semuanya tanpa menyisakan apa pun untuk keluarganya yang membuat Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengalami masa-masa sulit. Khususnya setelah peristiwa Quraizah dan Khaibar, keadaan umat Islam semakin lapang karena mereka peroleh bagian kekayaan berdasarkan kesepakatan yang mereka buat dengan orang-orang Khaibar.

Realita dan kebenarannya memang demikian, sebagaimana ditunjukkan oleh puluhan dalil yang termaktub dalam kitab-kitab biografi Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Namun momen-momen kelaparan yang dialami Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam harus dipahami bahwa ini terjadi sementara. 

Para sahabat yang mulia —Semoga Allah Meridai mereka— adalah penolong terbaik bagi Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dalam masa-masa sulit ini. Mereka tidak pernah menahan harta dan makanan mereka dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan keluarga beliau. Mereka mengirim hadiah makanan yang mereka miliki kepada keluarga Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Mereka juga memberi Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sebagian kelapangan harta yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala Karuniakan kepada mereka. Jadi demikianlah, beberapa hadis —yang bisa dihitung jumlahnya— yang berbicara tentang kesulitan yang dialami Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam —karena pilihan beliau sendiri, bukan karena terhimpit keadaan— sudah menunjukkan bagaimana sikap para sahabat yang mulia ketika melihat keadaan Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan kesungguhan mereka dalam membantu Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّهَا قَالَتْ لِعُرْوَةَ: ابْنَ أُخْتِي إِنْ كُنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى الهِلاَلِ، ثُمَّ الهِلاَلِ، ثَلاَثَةَ أَهِلَّةٍ فِي شَهْرَيْنِ، وَمَا أُوقِدَتْ فِي أَبْيَاتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَارٌ، فَقُلْتُ يَا خَالَةُ: مَا كَانَ يُعِيشُكُمْ؟ قَالَتْ: ” الأَسْوَدَانِ: التَّمْرُ وَالمَاءُ، إِلَّا أَنَّهُ قَدْ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِيرَانٌ مِنَ الأَنْصَارِ، كَانَتْ لَهُمْ مَنَائِحُ، وَكَانُوا يَمْنَحُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَلْبَانِهِمْ، فَيَسْقِينَا) رواه البخاري (2567) وعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ يَأْتِي عَلَيْنَا الشَّهْرُ مَا نُوقِدُ فِيهِ نَارًا، إِنَّمَا هُوَ التَّمْرُ وَالمَاءُ، إِلَّا أَنْ نُؤْتَى بِاللُّحَيْمِ رواه البخاري (6458)

Diriwayatkan dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya—, dia berkata kepada ‘Urwah, “Wahai kemenakanku, sungguh, kami melihat hilal lalu melihat hilal lagi hingga tiga kali hilal dalam dua bulan sedangkan dalam rumah-rumah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak bisa menyalakan perapian (untuk masak, pent.).” Aku (‘Urwah) berkata, “Wahai bibiku, lalu bagaimana Anda bertahan hidup?” Dia berkata, “Al-Aswadān, yaitu kurma dan air. Namun, Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memiliki beberapa tetangga dari kalangan Ansar yang memiliki hewan perahan. Mereka biasa memberi Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam susunya lalu beliau memberi kami minum dengannya.” (HR. Bukhari (2567)). 

Diriwayatkan dari Aisyah —Semoga Allah Meridainya—, dia berkata, “Pernah datang kepada kami satu bulan penuh di mana kami tidak menyalakan perapian (tungku). Yang ada hanya kurma dan air, kecuali jika ada yang memberi kami daging.” (HR. Bukhari (6458)).

وعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ – أَوْ لَيْلَةٍ – فَإِذَا هُوَ بِأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ، فَقَالَ: مَا أَخْرَجَكُمَا مِنْ بُيُوتِكُمَا هَذِهِ السَّاعَةَ؟ قَالَا: الْجُوعُ يَا رَسُولَ اللهِ،، قَالَ: وَأَنَا، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَأَخْرَجَنِي الَّذِي أَخْرَجَكُمَا، قُومُوا، فَقَامُوا مَعَهُ، فَأَتَى رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ فَإِذَا هُوَ لَيْسَ فِي بَيْتِهِ، فَلَمَّا رَأَتْهُ الْمَرْأَةُ، قَالَتْ: مَرْحَبًا وَأَهْلًا، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيْنَ فُلَانٌ؟ قَالَتْ: ذَهَبَ يَسْتَعْذِبُ لَنَا مِنَ الْمَاءِ، إِذْ جَاءَ الْأَنْصَارِيُّ، فَنَظَرَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَاحِبَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ مَا أَحَدٌ الْيَوْمَ أَكْرَمَ أَضْيَافًا مِنِّي، قَالَ: فَانْطَلَقَ، فَجَاءَهُمْ بِعِذْقٍ فِيهِ بُسْرٌ وَتَمْرٌ وَرُطَبٌ، فَقَالَ: كُلُوا مِنْ هَذِهِ، وَأَخَذَ الْمُدْيَةَ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِيَّاكَ، وَالْحَلُوبَ، فَذَبَحَ لَهُمْ، فَأَكَلُوا مِنَ الشَّاةِ وَمِنْ ذَلِكَ الْعِذْقِ وَشَرِبُوا، فَلَمَّا أَنْ شَبِعُوا وَرَوُوا، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَتُسْأَلُنَّ عَنْ هَذَا النَّعِيمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمُ الْجُوعُ، ثُمَّ لَمْ تَرْجِعُوا حَتَّى أَصَابَكُمْ هَذَا النَّعِيمُ) رواه مسلم (2038)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah —Semoga Allah Meridainya—, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam pada suatu hari —atau suatu malam— pergi keluar rumah. Tiba-tiba beliau bertemu dengan Abu Bakar dan Umar. Lalu beliau bertanya, “Mengapa kalian keluar dari rumah kalian jam segini?” 

Mereka menjawab, “Kami lapar, wahai Rasulullah!” 

Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Adapun aku, demi Zat Yang jiwaku ada di Tangan-Nya, aku juga keluar karena sesuatu yang membuat kalian berdua keluar (yakni rasa lapar), mari!” 

Lantas mereka pergi mengikuti beliau untuk mendatangi seorang sahabat Ansar, hanya saja kebetulan dia sedang tidak di rumah, tapi tatkala istrinya melihat Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dia mengatakan, “Selamat datang!” 

Lantas Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertanya, “Ke mana si Fulan?” Dia menjawab, “Dia sedang pergi mengambil air untuk kami.” Tiba-tiba suaminya si orang Ansar tersebut datang dan melihat Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam beserta dua sahabat beliau seraya berkata: “Alhamdulillah, tidak ada orang yang lebih mulia tamunya hari ini daripada tamuku!” Lalu dia pergi kemudian datang membawa setandan kurma, yang berisi kurma muda, yang mulai masak, dan yang sudah masak seraya berkata, “Silakan dimakan ini!” Kemudian dia mengambil pisau, maka Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Jangan menyembelih yang sedang diperah susunya.” 

Lantas dia menyembelih seekor kambing untuk mereka lalu mereka memakan kambing dan kurma tersebut lalu minum. Setelah semuanya merasa puas makan dan minum, Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lalu bersabda kepada Abu Bakar dan Umar, “Demi Allah Yang jiwaku berada di Tangan-Nya, kalian pasti akan ditanya tentang nikmat ini pada hari kiamat, di mana kalian keluar dari rumah kalian karena lapar dan tidak pulang kecuali sudah memperoleh nikmat ini.” (HR. Muslim (2038)).

وعن جَابِر بْن عَبْدِ اللهِ، يَقُولُ: لَمَّا حُفِرَ الْخَنْدَقُ رَأَيْتُ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمَصًا، فَانْكَفَأْتُ إِلَى امْرَأَتِي، فَقُلْتُ لَهَا: هَلْ عِنْدَكِ شَيْءٌ؟ فَإِنِّي رَأَيْتُ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمَصًا شَدِيدًا، فَأَخْرَجَتْ لِي جِرَابًا فِيهِ صَاعٌ مِنْ شَعِيرٍ، وَلَنَا بُهَيْمَةٌ دَاجِنٌ، قَالَ: فَذَبَحْتُهَا وَطَحَنَتْ، فَفَرَغَتْ إِلَى فَرَاغِي، فَقَطَّعْتُهَا فِي بُرْمَتِهَا، ثُمَّ وَلَّيْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: لَا تَفْضَحْنِي بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ مَعَهُ، قَالَ: فَجِئْتُهُ فَسَارَرْتُهُ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا قَدْ ذَبَحْنَا بُهَيْمَةً لَنَا، وَطَحَنَتْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ كَانَ عِنْدَنَا، فَتَعَالَ أَنْتَ فِي نَفَرٍ مَعَكَ، فَصَاحَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ: يَا أَهْلَ الْخَنْدَقِ، إِنَّ جَابِرًا قَدْ صَنَعَ لَكُمْ سُورًا فَحَيَّ هَلًا بِكُمْ، وَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تُنْزِلُنَّ بُرْمَتَكُمْ، وَلَا تَخْبِزُنَّ عَجِينَتَكُمْ حَتَّى أَجِيءَ، فَجِئْتُ وَجَاءَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْدَمُ النَّاسَ حَتَّى جِئْتُ امْرَأَتِي، فَقَالَتْ: بِكَ وَبِكَ، فَقُلْتُ: قَدْ فَعَلْتُ الَّذِي قُلْتِ لِي، فَأَخْرَجْتُ لَهُ عَجِينَتَنَا فَبَصَقَ فِيهَا وَبَارَكَ، ثُمَّ عَمَدَ إِلَى بُرْمَتِنَا فَبَصَقَ فِيهَا وَبَارَكَ، ثُمَّ قَالَ: ادْعِي خَابِزَةً فَلْتَخْبِزْ مَعَكِ، وَاقْدَحِي مِنْ بُرْمَتِكُمْ وَلَا تُنْزِلُوهَا وَهُمْ أَلْفٌ، فَأُقْسِمُ بِاللهِ لَأَكَلُوا حَتَّى تَرَكُوهُ وَانْحَرَفُوا، وَإِنَّ بُرْمَتَنَا لَتَغِطُّ كَمَا هِيَ، وَإِنَّ عَجِينَتَنَا – أَوْ كَمَا قَالَ الضَّحَّاكُ: – لَتُخْبَزُ كَمَا هُوَ) رواه مسلم (2039)

Diriwayatkan dari Jabir —Semoga Allah Meridainya—, ia berkata, “Saat menggali parit (dalam perang Khandaq), aku melihat Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sangat kepayahan, lalu aku pulang kepada istriku dan bertanya, ‘Apakah engkau memiliki sesuatu? Sungguh, aku melihat Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sangat kepayahan.’ Lantas istriku mengeluarkan kantong berisi satu ṣhā’ gandum dan kami juga mempunyai seekor kambing peliharaan. Lalu aku menyembelih kambing itu dan ia menumbuk gandum. Ia selesai ketika aku juga selesai, lalu aku memotong-motongnya di kuali. 

Kemudian aku pergi menemui Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, dan istriku berkata, ‘Jangan membuatku malu di hadapan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan orang-orang yang bersama beliau (karena jumlah makanannya hanya sedikit, pent.).’ Aku pun mendatangi beliau dan berbisik kepadanya, aku katakan, ‘Wahai Rasulullah, kami sudah menyembelih kambing kami dan aku sudah menumbuk satu ṣha’ gandum. Mari makan dengan mengajak beberapa orang saja!’ Tiba-tiba Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berteriak, ‘Wahai pasukan Khandaq, sesungguhnya Jabir sudah membuat hidangan untuk kalian. Kalian semua, ayo ke sana!’ 

Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berpesan padanya, ‘Jangan sekali-kali kamu menurunkan kualimu dan memotong-motong rotimu sampai aku datang.’ Ketika aku tiba di rumah, Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga tiba duluan mendahului para sahabatnya. 

Aku mendatangi istriku dan ia berkata, ‘Ini gara-gara kamu! Ini gara-gara kamu!’ Aku katakan, ‘Aku sudah melakukan apa yang kamu pesankan.’ Lantas aku keluarkan adonan roti itu untuk beliau lalu beliau meludah di dalamnya dan mendoakan keberkahan untuknya. Selanjutnya beliau menuju ke kuali kami lalu meludah di dalamnya dan mendoakan keberkahan. 

Selanjutnya beliau bersabda, ‘Panggil tukang roti ke sini lalu suruh dia membuat roti bersama kamu dan nyalakan kuali kalian serta jangan kalian turunkan.’ Padahal yang datang ada ribuan orang, aku bersumpah demi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ternyata mereka semua makan hingga mereka meninggalkannya (makanan masih tersisa) dan pergi, sementara itu kuali kami masih penuh berisi seperti sedia kala sebagaimana adonan roti kami —atau perkataan lain yang diucapkan Aḏ-Ḏahhāk yang semakna dengan itu— juga masih seperti sedia kala.” (HR. Muslim 2039).

وعَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ، أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، يَقُولُ: قَالَ أَبُو طَلْحَةَ لِأُمِّ سُلَيْمٍ: قَدْ سَمِعْتُ صَوْتَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَعِيفًا أَعْرِفُ فِيهِ الْجُوعَ، فَهَلْ عِنْدَكِ مِنْ شَيْءٍ؟ فَقَالَتْ: نَعَمْ، فَأَخْرَجَتْ أَقْرَاصًا مِنْ شَعِيرٍ، ثُمَّ أَخَذَتْ خِمَارًا لَهَا، فَلَفَّتِ الْخُبْزَ بِبَعْضِهِ، ثُمَّ دَسَّتْهُ تَحْتَ ثَوْبِي وَرَدَّتْنِي بِبَعْضِهِ، ثُمَّ أَرْسَلَتْنِي إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَذَهَبْتُ بِهِ، فَوَجَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا فِي الْمَسْجِدِ وَمَعَهُ النَّاسُ، فَقُمْتُ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرْسَلَكَ أَبُو طَلْحَةَ، قَالَ: فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَقَالَ: أَلِطَعَامٍ؟، فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَنْ مَعَهُ: قُومُوا، قَالَ: فَانْطَلَقَ، وَانْطَلَقْتُ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ حَتَّى جِئْتُ أَبَا طَلْحَةَ، فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: يَا أُمَّ سُلَيْمٍ، قَدْ جَاءَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاسِ، وَلَيْسَ عِنْدَنَا مَا نُطْعِمُهُمْ، فَقَالَتْ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: فَانْطَلَقَ أَبُو طَلْحَةَ حَتَّى لَقِيَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهُ حَتَّى دَخَلَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلُمِّي مَا عِنْدَكِ يَا أُمَّ سُلَيْمٍ؟ فَأَتَتْ بِذَلِكَ الْخُبْزِ، فَأَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفُتَّ، وَعَصَرَتْ عَلَيْهِ أُمُّ سُلَيْمٍ عُكَّةً لَهَا فَأَدَمَتْهُ، ثُمَّ قَالَ فِيهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُولَ، ثُمَّ قَالَ: ائْذَنْ لِعَشَرَةٍ، فَأَذِنَ لَهُمْ فَأَكَلُوا حَتَّى شَبِعُوا، ثُمَّ خَرَجُوا، ثُمَّ قَالَ: ائْذَنْ لِعَشَرَةٍ، فَأَذِنَ لَهُمْ فَأَكَلُوا حَتَّى شَبِعُوا، ثُمَّ خَرَجُوا، ثُمَّ قَالَ: ائْذَنْ لِعَشَرَةٍ حَتَّى أَكَلَ الْقَوْمُ كُلُّهُمْ وَشَبِعُوا، وَالْقَوْمُ سَبْعُونَ رَجُلًا أَوْ ثَمَانُونَ) رواه مسلم (2040)

Diriwayatkan dari Ishaq bin Abdullah bin Abu Thalhah, bahwasanya dia mendengar Anas bin Malik berkata, “Abu Thalhah berkata kepada Ummu Sulaim, ‘Aku mendengar suara Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam sangat lemah. Aku tahu bahwa beliau lapar. Apakah kamu mempunyai sesuatu?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ 

Kemudian dia mengeluarkan beberapa lembar roti gandum, lalu melepas kerudungnya dan membungkus roti-roti tersebut dengan sebagian kerudungnya lalu menyelipkannya ke bawah bajuku dan menyelendangkan sebagian kerudungnya kepadaku. 

Dia menyuruhku menemui Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.’” Anas berkata, “Aku membawanya lalu menjumpai Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang sedang duduk di masjid bersama orang-orang. Aku berdiri di hadapan mereka dan Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bertanya, ‘Apakah Abu Thalhah menyuruhmu ke sini?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Beliau bertanya, ‘Untuk makan?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ 

Kemudian Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepada orang-orang yang sedang bersamanya, ‘Mari semuanya!’” Anas bercerita, “Lalu beliau berangkat sedangkan aku berjalan bersama mereka di bagian terdepan hingga aku menemui Abu Thalhah dan mengabarkan hal tersebut. Abu Thalhah berkata, ‘Wahai Ummu Sulaim, Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah datang bersama orang-orang, sedangkan kita tidak memiliki cukup makanan untuk menjamu mereka?’ 

Anas berkata, “Abu Thalhah pergi untuk menemui Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, ternyata Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sudah sampai sehingga mereka berdua masuk. Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Bawa ke sini makanan yang kamu miliki, wahai Ummu Sulaim.’ Lalu dia datang dengan membawa roti tersebut. 

Kemudian Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan agar roti tersebut dipotong kecil-kecil, maka Ummu Sulaim memotongnya lalu memeraskan minyak samin dari wadah yang dia miliki lalu mengolahnya menjadi hidangan. 

Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam lalu membacakan sesuatu pada hidangan itu dengan bacaan yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala Kehendaki lalu bersabda, ‘Persilahkan sepuluh orang untuk masuk.’ Abu Thalhah mempersilahkan mereka masuk lalu mereka menyantapnya hingga kenyang kemudian keluar. Lalu beliau bersabda lagi, ‘Persilahkan sepuluh orang untuk masuk.’ 

Abu Thalhah lalu mempersilahkan mereka masuk lalu mereka menyantapnya hingga kenyang kemudian keluar. Beliau bersabda lagi, ‘Persilahkan sepuluh orang untuk masuk,’ terus demikian hingga mereka semua kenyang, padahal jumlah mereka ada tujuh puluh atau delapan puluh orang.” (HR. Muslim 2040).

Imam At-Tabari —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Jika seseorang mengatakan kepada kami tentang bagaimana memahami riwayat-riwayat tersebut, padahal ada riwayat-riwayat sahih dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah Mengkhususkan jatah harta rampasan perang untuk beliau dari Bani Naḏīr dan Fadak berupa makanan pokok. 

Lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyimpannya untuk cadangan makanan keluarganya selama setahun dan sisanya digunakan untuk membeli tunggangan dan senjata untuk persiapan perang di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 

Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga membagi-bagi untuk beberapa orang sekitar seribu unta yang menjadi hak miliknya yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah Khususkan untuknya dari harta orang-orang Hawāzin dalam satu hari saja. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga membawa seratus ekor unta saat haji Wadāʿ untuk disembelih dan dibagikan kepada penduduk kota Makkah yang miskin dan selain mereka. Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam juga menyuruh seorang Badui yang masuk Islam yang datang kepadanya dari pedalaman padang pasir untuk membawa kawanan domba milik beliau.

Demikianlah, di samping banyaknya pemberian dan sedekahnya, yang tidak ada kedermawanan semacam ini dari para raja umat-umat sebelumnya, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dikelilingi oleh orang-orang yang kaya raya dan memiliki harta berlimpah, seperti Abu Bakar Aṣ-Ṣiddīq, Umar, dan Utsman —Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala Meridai mereka—, demikian juga orang-orang lain seperti mereka yang dikenal memiliki kekayaan yang besar. Mereka adalah orang-orang yang siap mengorbankan jiwa, anak-anak, dan kekayaan mereka untuk Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bahkan salah satu dari mereka telah menyedekahkan semua hartanya untuk Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dengan melakukan itu semua. 

Ditambah lagi ada kekayaan bersama orang-orang Ansar dengan orang-orang Muhajirin, yang diberikan saat mereka datang kepada kaum Ansar. Mereka telah menyedekahkan harta-harta mereka yang paling berharga di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 

Bagaimana dengan sedekah kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam? Padahal beliau dalam keadaan sangat membutuhkan untuk menghalau rasa lapar yang melilit beliau dan mengatasi beratnya kepayahan yang beliau derita. Sungguh, ini adalah hal yang paling aneh dan paling mengherankan, karena sebagian riwayat menegasikan sebagian riwayat yang lainnya dan sebagiannya juga bertentangan dengan realita yang terkandung dalam sebagian riwayat yang lain, karena tidak mungkin mengompromikan riwayat-riwayat tentang kesulitan dan kesempitan hidup mereka dan saat yang sama ada riwayat-riwayat tentang kelapangan dan kemudahan hidup mereka.

Apakah Anda mengetahui cara yang tepat untuk mengompromikan semua riwayat tersebut sehingga semuanya bisa dibenarkan, ataukah semua itu tidak benar sehingga harus ditolak semuanya, ataukah sebagiannya benar dan sebagian lagi tidak bisa diterima kebenarannya? 

Tolong jelaskan kepada kami mana riwayat yang sahih dan yang tidak, agar Anda bisa memastikan mana yang benar dan mana yang salah. Hendaknya dijawab demikian, ‘Tidak ada riwayat yang saya sebutkan atau tidak saya sebutkan, yang sanadnya sahih diriwayatkan oleh para perawi yang kredibel dan amanah dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, melainkan itu adalah benar adanya menurut kami. Meyakini hal tersebut juga wajib bagi umat ini. 

Tidak ada satupun dari riwayat-riwayat tersebut yang menegasikan yang lain dan tidak ada satupun makna yang bertentangan dengan makna yang lain. Kami akan jabarkan penjelasannya dengan alasan dan argumentasi atas hal tersebut, insyaAllah, dengan meminta bantuan dan taufik-Nya.

Adapun riwayat yang kami diriwayatkan dari Umar dari Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang menyatakan bahwa beliau sepanjang hari meringkuk karena kelaparan dan tidak memiliki apa pun untuk mengisi perutnya walaupun sekadar kurma yang jelek, serta riwayat-riwayat lain yang serupa, maka itu adalah keadaan yang terjadi di waktu-waktu tertentu saja. Meskipun pada saat itu ada sebagian mereka yang memiliki harta kekayaan, hanya saja semua itu digunakan untuk menunaikan kewajiban mereka untuk membantu kebutuhan orang-orang Muhajirin, orang-orang miskin dan lemah di tengah kaum muslimin, dan juga untuk para tamu yang datang dan mengunjungi mereka sebagai delegasi dari berbagai wilayah Arab, serta untuk jihad di jalan Allah Subẖānahu wa Taʿālā. 

Jadi, dari banyaknya harta hingga tersisa sedikit dan bahkan habis semuanya. Bagaimana tidak demikian, padahal kami telah meriwayatkan dari Umar bin Khattab bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memerintahkan kaum muslimin untuk bersedekah lalu Abu Bakar membawa seluruh hartanya seraya berkata, “Ini sedekah untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala.” 

Bagaimana bisa mengingkari hal tersebut dari orang-orang yang sedemikian rupa perbuatannya, yang tidak memiliki apa pun untuk temannya sehingga tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencukupi kebutuhannya maupun membantunya agar tidak tergantung dengan orang lain?!

Demikianlah akhlak para pengikut Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan sahabatnya —Semoga Allah Meridai mereka. Demikian juga sebuah riwayat yang mengisahkan bahwa Utsman mempersiapkan seluruh pasukan dari kekayaan pribadinya, sehingga mereka tidak kekurangan sesuatupun walaupun hanya tali atau pelana. Ada juga sebuah riwayat yang mengisahkan bahwa Abdurrahman bin ‘Auf ketika Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengajak orang-orang untuk bersedekah, maka dia —Semoga Allah Meridainya— datang membawa sedekah sebesar empat ribu dinar yang dia sedekahkan.

Sudah bisa diketahui dari orang-orang yang seperti ini perbuatan dan akhlaknya bahwa pasti mereka akan melalui suatu masa dari hidup mereka dan suatu waktu dalam hari-hari mereka di mana mereka tidak akan memiliki apa-apa, karena hartanya habis untuk memberi dan berderma. Sehingga ketika seorang saudara atau teman dekatnya membutuhkan sesuatu sebagaimana yang dibutuhkan manusia pada umumnya, karena dirinya sendiri juga dalam keterbatasan, maka tidak ada jalan baginya untuk meringankan bebannya atau memberi dan menyisihkan hartanya untuknya.

Maka dari itu, dengan apa yang aku sebutkan dan jabarkan, nampak sudah kekeliruan orang yang mengatakan, ‘Bagaimana mungkin Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam harus menggadaikan baju zirahnya kepada seorang Yahudi demi sejumlah gandum, sedangkan di antara para sahabat beliau ada orang-orang yang kaya dan berkecukupan yang tidak tersembunyi keberadaan mereka?!’ 

Juga perkataan, ‘Bagaimana mungkin dikatakan bahwa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam meringkuk berhari-hari lamanya karena kelaparan sedangkan sahabat beliau memberikan harta mereka kepadanya dan mereka juga menyedekahkannya untuk sahabat-sahabat yang lain yang keadaannya berada di bawah mereka?! 

Lantas bagaimana pula dengan Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam?!’ Sudah maklum bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sangat baik dan murah hati hingga beliau mendahulukan tamu-tamunya dan para delegasi dari berbagai wilayah Arab yang datang kepadanya daripada dirinya sendiri dan keluarganya dalam urusan makanan dan harta. 

Sudah maklum bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam sangat tabah dalam kesulitan dan begitu sabar dengan kesempitan dan kelaparan karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sudah maklum juga bagaimana para sahabat dan pengikut beliau meneladani akhlak Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Jika demikian para pengikut Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, maka sudah jelas dan tidak aneh jika beliau dan para pengikutnya mengalami masa-masa sulit terhimpit kebutuhan, yang memaksa beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan mereka —Semoga Allah Meridai mereka— meminjam dan menggadaikan sesuatu atau meringkuk berhari-hari karena kelaparan dan kepayahan.

Jadi, apa yang menimpa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan para sahabatnya —Semoga Allah Meridai mereka— atau sebagian hal yang menimpa sebagian mereka dan kehidupan mereka adalah karena alasan yang telah kami sebutkan di atas. 

Ini hanyalah serpihan gambaran keadaan dari keadaan-keadaan yang dilewati oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan para sahabatnya —Semoga Allah Meridai mereka—, yang tergambar dalam riwayat-riwayat yang menceritakan bahwa dia dan para sahabatnya mengikatkan batu ke perut mereka karena sulitnya keadaan dan ketiadaan makanan selama berhari-hari untuk mengenyangkan mereka. 

Aisyah —Semoga Allah Meridainya— mengatakan, “Kami melalui dua bulan tanpa menyalakan api di di rumah Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam,” dan riwayat-riwayat lain yang serupa. … 

Adapun riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak pernah makan sampai kenyang dua kali dalam sehari hingga ia menemui Allah Subẖānahu wa Taʿālā atau bahwa beliau dan keluarganya tidak pernah kenyang makan roti gandum sampai Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencabut nyawanya, atau riwayat-riwayat lain yang semisal itu, maka beliau tidak terus-menerus dalam keadaan kekurangan dan kesempitan. Bagaimana mungkin bisa begitu sedangkan Allah Subẖānahu wa Taʿālā telah Menguasakan kepada Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam seluruh negeri Arab sebelum beliau meninggal, bahkan beliau menerima pajak dari beberapa wilayah di luar Arab, seperti Ailah, Bahrain dan Hajar? 

Jadi, kehidupan beliau yang sulit sebagaimana dikabarkan, sebagiannya karena beliau lebih mengutamakan hak-hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam hartanya daripada dirinya sendiri dan sebagiannya karena beliau tidak suka kenyang dan makan banyak, karena memang Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam tidak menyukainya dan ingin mengajarkan demikian kepada para sahabat beliau. Demikianlah memahami riwayat-riwayat yang datang dari Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, meskipun sebagiannya ada kritik pada sanadnya.” Selesai kutipan dengan diringkas dari Tadzhīb Al-Atsār Musnad ʿUmar (2/712-716). 

Imam An-Nawawi —Semoga Allah Merahmatinya— berkata bahwa riwayat yang menyatakan, “Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam memberikan nafkah untuk keluarganya dengan nafkah setahun.” artinya dengan apa yang mencukupi mereka selama satu tahun, tapi beliau gemar menyedekahkannya sebelum setahun berlalu untuk banyak kebaikan hingga habis sebelum setahun. Oleh karena itu, Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam wafat dalam keadaan menggadaikan baju perangnya demi mendapatkan gandum untuk keluarganya dan beliau juga tidak pernah makan sampai kenyang selama tiga hari berturut-turut. Ada banyak hadis sahih yang mengisahkan tentang Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam dan keluarganya yang sering kelaparan. Selesai kutipan dari Syarh Muslim (12/70). 

Ibnu Hajar —Semoga Allah Merahmatinya— berkata, “Meskipun Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam menyisihkan makanan untuk kebutuhan selama satu tahun keluarganya, tapi sepanjang tahun tersebut mungkin beliau mengambilnya dari mereka untuk menjamu tamu-tamu yang datang mengunjungi beliau lalu kemudian menggantinya di kemudian hari.” Selesai kutipan dari Fatẖ Al-Bārī (9/503).

Sumber:

Sumber artikel PDF

🔍 Ruqyah Sendiri Sesuai Sunnah, Apakah Bekicot Haram, Sujud Shalat, Berapa Rakaat Sholat Idul Adha, Hadits Keutamaan Umroh

Visited 105 times, 5 visit(s) today


Post Views: 27

QRIS donasi Yufid

News
Berita Teknologi
Berita Olahraga
Sports news
sports
Motivation
football prediction
technology
Berita Technologi
Berita Terkini
Tempat Wisata
News Flash
Football
Gaming
Game News
Gamers
Jasa Artikel
Jasa Backlink
Agen234
Agen234
Agen234
Resep
Download Film